Kesedihan yang sangat mendalam terasa di dalam hatiku, didukung dengan suasana haru orang-orang di sekelilingku. Kusaksikan langsung dengan mata kepalaku sendiri, saat Almarhumah Leni Ramona, atau bisa disebut ibu tiri ku, telah terbungkus kain kavan putih dan memasuki liang kuburnya. Dadaku terasa makin sesak saat mendengar ayahku sedikit terisak sambil mengumandangkan adzan sebelum ibu tiri ku tertimbun di dalam tanah untuk selamanya. Dan diikuti oleh isakan tangis dari Kak Rivano, kakak angkatku yang dibawa oleh Mama Leni, dan juga keluarga Mama Leni yang semakin banyak mengeluarkan air mata. Tak kusangka, isakanku pun menyusul mereka.
Diriku seakan-akan terbang, seakan kembali ke masa lalu disaat Mama Leni masih ada. Seorang sosok mama angkat yang kupandang sebagai penghancur kehidupan ayah dan aku yang memang sudah hancur sebelumnya karena kehilangan ibu kandungku beberapa tahun yang lalu. Aku tak peduli seberapa cinta nya ayahku terhadapnya, yang aku pedulikan hanyalah mengapa ayahku tega menggantikan ibuku dengan seseorang yang bahkan tidak aku restui sedikitpun untuk mendampingi ayahku. Ditambah lagi perempuan ini sudah pernah menikah juga, tetapi telah bercerai dengan suaminya yang lama. Aku tambah tidak percaya ayahku mau memilih dia, saat ku tahu perempuan ini ternyata membawa anak lelaki satu-satunya, yang sudah pasti akan menjadi kakak angkatku.
Semua berawal dari saat aku merayakan ulangtahunku yang ke 13 sekitar 2 tahun yang lalu. Ada perempuan asing mendatangi aku ditengah kerumunan teman-temanku dan memberi ucapan selamat ulang tahun serta mencium keningku. Aku sangat tidak punya bayangan sedikitpun, siapakah dia. Sampai tiba-tiba ayahku yang berdiri di belakang wanita ini mengedipkan matanya kepadaku sambil berbisik,”Calon mama, Fay”. Rasanya tiga kata yang singkat itu berhasil mencabik jantungku dan aku langsung berlari ke kamar mandi untuk menangis. Aku tidak mau punya ibu baru. Padahal baru saja 3 hari yang lalu aku dan ayah mengadakan tahlilan 1 tahun ibuku yang telah meninggalkan dunia ini dengan sejuta luka dihatiku dan ayah. Ibuku meninggal dengan sangat tidak pantas. Ia adalah korban tabrak lari yang pengendara mobilnya sangat pengecut karena tidak berani menolong ibuku yang seharusnya masih bisa hidup jika cepat-cepat dibawa ke rumah sakit. Aku hanya tidak menyangka ayah akan mencari pengganti, ya walaupun aku tahu sifat ayahku, tapi aku tak tahu akan secepat ini. Aku masih mau bersedih, untuk waktu yang sangat lama. Mungkin untuk selamanya.
Berkali-kali wanita asing yang ayahku sebut sebagain calon ibu baruku itu ada di rumahku saat aku pulang sekolah. Selalu ia menyapaku dengan ramah, bahkan ia memanggil namaku dengan embel-embel tambahan seperti,”Faya sayang…” atau,”Faya cantik…” yang membuat aku tambah muak mendengarnya menyebut namaku. Diriku yang memang terkenal jutek ini bahkan tidak pernah menengok sedikitpun kepadanya dan langsung masuk ke kamar. Terdengar ayahku diluar pintu sedang memaki-maki diriku sambil berteriak. Aku bahkan tidak pernah mau mendengarnya lagi setelah ku tahu hubungannya dengan wanita ini. Hubunganku dengan ayah menjadi sangat buruk, mengingat sebelum kejadian ini kami sangat dekat dan aku memang sangat menyayanginya. Aku yakin pasti perempuan yang ayahku panggil dengan sebutan Leni itu yang menghasutnya untuk selalu memarahiku karena aku jahat terhadap pacar barunya itu. Apapun yang ia lakukan, aku berusaha tidak peduli.
Suatu malam, setelah hampir setahun perempuan itu menghancurkan hubunganku dengan ayah, ayah memulai pembicaraan lebih dulu. Pertamanya aku tidak mau memberikan ia kesempatan untuk bicara padaku, setelah 2 hari sebelumnya aku mendengar ayah melamar perempuan itu. Ia awalnya mengetuk pintuku pelan-pelan dan mengintip kedalam. Aku pejamkan mataku. Entah aku memejamkan mataku memang untuk pura-pura tidur, atau untuk menahan air mataku yang sudah memaksa lompat keluar karena kerinduanku kepada saat-saat dia peduli kepadaku seperti ini. Ternyata ia tahu aku pura-pura, langsung ia duduk di ujung tempat dudukku, membelai rambutku, dan menghela nafas panjang-panjang. Kuhitung sampai dua puluh detik ia akhirnya membuka mulut.
“Rafaya, anakku sayang, banyak sekali yang ingin ayah katakan, nak.”
Baru satu kalimat keluar dari mulutnya, tak kuduga sudah beberapa tetes air mata keluar dari mataku. Langsung ku tutupi mukaku ini dengan bantal.
“Ayah dari dulu pengen banget minta maaf sama kamu. Tapi nggatau harus mulai darimana. Ayah ngerti, pasti kamu benci banget sama ayah pas ayah ngenalin Tante Leni dengan sebutan calon mama baru kamu. Ayah salah pas itu. Ayah sedih mendengar kesedihan kamu, Faya. Ayah takut kamu nggakbisa ngerasain kasih sayang seorang mama disaat umur kamu menginjak remaja seperti ini. Ayah nggabisa ngasih kamu masukan soal cowo. Ayah nggabisa ngebantu kamu ngelurusin masalah sama temen kamu yang nyebelin. Ayah ngga bisa. Ayah ngga sanggup. Ayah kira kamu bakal seneng kalo punya ibu baru. Ternyata ayah salah memperkenalkan Tante Leni dengan sebutan calon mama kamu, ayah ngga nyangka kamu bakal semarah ini sama Ayah. Ayah minta maaf”
Air mataku makin deras mengucur. Isakan ku yang tadi masih bisa kutahan tahan lama lama terdengar sangat kencang karena suara lembut ayahku yang kudengar kalimat per kalimat, kata per katanya, karena aku tidak mau melewatkan sedetikpun suaranya. Betapa rindunya aku akan ayah yg bersuara lembut seperti ini, bukan ayah yang selalu berteriak kepadaku dari luar kamar. Ingin sekali aku memeluknya sekarang. Tapi aku masih tertahan gengsiku yang besar.
“Maaf, Faya. Kamu boleh benci sama ayah. Tapi jangan bersikap kaya gini sama ayah. Ngomong-ngomong, udah lama nih ayah ngga dipeluk.”
Dalam sekejap aku langsung bangun dari posisi tidurku dan memeluknya erat sekali. Kemeja kotak-kotak pemberian ibuku yang sedang dipakainya setelah pulang kerja itu sudah basah kuyup di bagian dada dan pundak karena air mataku yang takbisa kutahan setetes pun dari awal ia mulai membuka mulutnya.
“Aku nggamau kalo ayah lebih sayang sama dia daripada aku. Apalagi sama ibu. Bayangin dong perasaan ibu disana, sendirian, eh ayah malah nikah lagi”,aku mulai membuka mulutku
“Ayah ngga bermaksud begitu, Fay. Ayah pengen kamu ngedapetin sosok ibu di kehidupan kamu. Tante Leni itu baik banget, sayang. Dia ngga pernah mau ayah marahin kamu kalo kamu benci sama dia. Dia bilang kamu wajar kayak gini. Tapi lama kelamaan ayah sadar juga kalo ayah emang harus ngomong serius sama kamu, ngga cumin marah marah doang. Maaf ayah emang bodoh, baru bisa ngomong sekarang.”,ayahku membela dirinya.
Aku mendengarkan kata-katanya dengan sangat seksama. Aku mencernanya baik-baik. Aku menyadari aku memang salah tidak pernah membuka hatiku untuk Tante Leni, setidaknya tidak usah begitu jahat kepadanya. Setelah itu ayah meminta ijin kepadaku untuk menikahi Tante Leni dan menjadi ibu baruku. Aku juga bingung sampai sekarang mengapa aku berkata iya. Seakan sesuatu memaksaku, seakan ada yang bakal aku sesali jika aku berkata tidak. Ternyata baru kusadari itu adalah karena memang, aku merindukan kehadiran sosok ibu di kehidupanku. Aku butuh ibu baru, tanpa menggantikan kedudukan ibu kandungku.
Masih teringat jelas, saat pertama kali Tante Leni menginjakan kakinya dirumahku setelah ia resmi menjadi ibu angkatku. Kak Rivano, yang sekarang sudah menjadi kakak angkatku, sudah dengan santai memanggil ayahku dengan sebutan ‘papa’ karena memang sejak awal mereka sudah dekat. Sedangkan aku, masih tetap kokoh dengan pendirianku tidak mau memanggil Tante Leni dengan sebutan ‘mama’. Aku selalu menghindari kata itu, sampai ayah menyuruhku memanggil ia mama. Pertamanya ia menyuruh dengan halus, sampai lama lama terdengar nada agak keras. Dan aku terpaksa memanggil ia mama. Sebenarnya aku bukannya tidak mau, tapi benar saja, yang aku takut kan ternyata terjadi. Aku merindukan disaat aku bisa memanggil seorang mama, sebagai pelindung sebagai segalanya untukku. Tanpa sadar ku menangis dan langsung berlari ke kamar.
Malamnya Tante Leni masuk kedalam kamarku. Ia bilang jika aku tidak mau memanggilnya mama ya takapa hanya berusahalah menghargai kehadirannya. Aku yang memang mudah tersentuh ini langsung merasa bersalah. Dan aku sadar, tidak ada salahnya jika aku memanggilnya mama, toh aku tidak menyamainya dengan Ibuku. Semalaman aku merenung tentang apa yang harus aku lakukan. Aku berjanji akan berusaha memperbaiki hubunganku dengan Tante Leni, dimulai dengan memanggilnya mama.
Seiring berjalannya waktu, hubunganku akhirnya membaik. Aku akhirnya merasakan kegembiraan lagi setelah bertahun-tahun hidup dalam penderitaan dan harus melawannya sendirian. Ditambah lagi dengan kakak angkatku yang pindah sekolah menjadi kakak kelasku, ia ternyata memang sangat baik dan menyayangiku layaknya aku memang benar-benar adiknya. Aku bahagia sekali mendapatkan kehangatan sebuah keluarga yang tadinya sama sama hancur tetapi bersatu untuk saling melengkapi.
Tapi aku tak tahu kebahagiaan itu akan cepat sekali berakhir. Beberapa hari setelah aku genap berusia 17 tahun, Mama Leni terkena penyakit gagal ginjal yang membuatnya rutin cuci darah terus menerus. Hubungan kami merenggang apalagi setelah ayahku harus di PHK. Ayah tidak punya uang banyak untuk hidup seperti dulu lagi, ditambah lagi keadaan Mama Leni yang terus memburuk. 3 hari sebelum aku bertambah umur menjadi 18 tahun, mama meninggalkan kami semua. Aku merasakan hidup bersamanya sebagai mama baruku hanya selama kurang dari 4 tahun. Aku sangat ingin mengulanginya kembali. Aku merasa menyesal, jika dari awal aku membuka hatiku kepadanya aku pasti tidak akan merasa semenyesal ini karena butuh beberapa tahun untukku sadar aku membutuhkan seorang ibu layaknya Mama Leni.
Teringat sebuket bunga mawar putih dari Mama Leni untukku saat ulangtahun ku yang ke 14. Aku masih membencinya disaat itu. Aku bahkan tidak mau menerimanya. Aku biarkan bunga itu layu di meja makan. Beberapa hari kemudian aku menemukannya di dalam guci kaca didekat kamarku. Bunganya memang sudah agak layu tapi karena guci itu terisi air, nampaknya ia masih berusaha bertahan hidup. Ternyata itu Mama Leni yang menaruhnya, tak kubayangkan betapa sedihnya ia saat melihat bunga darinya kugeletakkan di atas meja berhari-hari. Kenangan masa lalu yang begitu pahit tiba-tiba terbayang dalam pikiranku karena sekarang adalah giliranku menebarkan bunga diatas kuburan mama angkatku ini.
Ayah, kakak, dan aku adalah tiga orang terakhir yang masih memandangi makan mamaku, setelah semua pulang. Aku hanya terdiam, disaat kakakku terus terusan mengelus nisan Mama Leni, dan ayahku yang tidak hentinya berdoa sambil menundukkan kepalanya. Aku sangat menyesal belum sempat mengenal Mama Leni sangat dekat, karena sekarang semua sudah terlambat. Ayah dan kakak ku berjalan menuju mobil, ia mengajakku untuk pulang. Aku menyuruh mereka menunggu, aku harus melakukan satu hal lagi sebelum aku meninggalkan makam mama. Aku buang semua gengsi yang melekat di diriku. Lalu ku menaruh setangkai bunga mawar putih di dalam kendi kaca didepan nisan mama. Lalu sekilas aku melihat ayahku tersenyum melihat tingkahku yang lucu itu, menaruh bunga mawar dengan malu-malu. Semoga Mama Leni senang karena bunga dariku. Selamat jalan Mama Leni. Semoga disana mama bisa tenang bersama ibuku.
okee GUE TAU ini sangatlah dangdut dan norak.. Apaboleh buat aku bukan pengarang novel :) Cuman mau berbagi kok hehe thanks byebye